Senin, 07 Januari 2008

Yang berjatuhan Di Jalan dakwah

Da'wah merupakan perjalanan panjang yang penuh dengan duri dan rintangan. Kemenangan da'wah akan diperoleh apabila para anggota-anggotanya komitmen dan teguh dalam menapaki jalan da'wah.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa akan ada anggota da'wah yang berjatuhan, baik bentuknya penyelewengan, penyimpangan, pengunduran diri dan sebagainya, sebelum meraih kemenangan. Fenomena ini tidak bisa dihindari, sehingga ada sebagian orang memandang hal ini sebagai suatu fenomena yang wajar / sehat guna memperbaharui sel-sel intinya, dan membebaskan da'wah dari segala hal yang memberatkan dan menghambat pergerakan.

FENOMENA YANG BERJATUHAN DI ZAMAN NABI

Pada zaman Rasulullah saw, sudah terjadi fenomena pembelotan para anggota jama'ah untuk melepaskan tanggung jawab ataupun sekedar bermalas-malasan dalam berda'wah. Beberapa peristiwa berjatuhan di jalan da'wah yang sempat terjadi adalah:

a. Kelompok mutakhollifin (orang-orang yang tidak berangkat) pada perang Uhud, diantaranya: Ka'ab bin Malik, Muroroh Ibnu `Ar-Rabi' dan Hilal bin Umayyah. Namun mereka bertiga ini kemudian diterima taubatnya oleh Allah swt, dan penerimaan taubat mereka diabadikan di dalam Al Qur'an dalam surat al Bara-ah, dan karena pertaubatan besar inilah surat ini juga dinamakan surat at-Taubah.

b. Pembocoran rahasia negara oleh Hathib bin Abi Balta'ah. Namun mengingat kebaikan masa lalunya, yaitu keikut sertaannya dalam perang Badar yang merupakan yaumul furqan, Rasulullah saw mengampuni dan tidak menghukumnya.

c. Haditsul Ifki (berita kebohongan besar) terhadap Ummul Mukminin `Aisyah ra. Diantara orang-orang yang terlibat dalam penyebaran berita ini, ada tiga sahabat nabi, mereka telah mendapatkan hukuman had, yaitu
masing-masing di dera 80 kali, dan setelah itu merekapun bertaubat. Mereka itu adalah: Hassan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan Misthah bin
Utsatsah.

d. Pengkhianatan Abu Lubabah yang membocorkan rahasia hukum yang akan diterapkan kepada orang-orang Yahudi Bani Quraizhah. Dia telah menyatakan taubat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, dan Allah swt-pun telah menerima taubatnya.

e. Peristiwa berdirinya masjid dhirar.

SEBAB-SEBAB BERJATUHAN

a. Sebab-sebab yang berhubungan dengan pergerakan

1. Lemahnya segi pendidikan.
2. Tidak menempatkan personal dalam posisi yang tepat.
3. Distribusi penugasan yang tidak merata pada setiap individu.
4. Tidak adanya monitoring personal secara baik.
5. Tidak menyelesaikan berbagai urusan dengan cepat.
6. Konflik intern. Konflik intern ini disebabkan oleh:
- Lemahnya kepemimpinan.
- Adanya tangan tersembunyi dan kekuatan luar yang sengaja menyebar fitnah.
- Perbedaan watak dan kecenderungan individu.
- Persaingan dalam memperebutkan kedudukan.
- Tidak adanya komitmen dan penonjolan tingkah laku individu.
- Kevakuman aktifitas dan produktifitas.

Dalam sejarah, konflik yang pernah terjadi antar ummat Islam adalah pada
peristiwa konflik golongan Aus dan Khazraj. Dalangnya (provokatornya)
adalah orang-orang Yahudi, yaitu Syammas bin Qais. Atas prakarsa
Rasulullah saw maka golongan Aus dan Khazraj bersatu kembali. Hal tersebut
terbukti dengan turunnya QS Ali Imran: 100 – 105.

7. Kepemimpinan yang tidak ahli dan qualified. Sebabnya antara lain:
- Kelemahan dalam kemampuan idiologi.
- Kelemahan dalam kemampuan organisatoris.

Oleh karena itu, seorang pemimpin yang diangkat haruslah memiliki syarat:
- Mengenal da'wah.
- Mengenal diri sendiri.
- Pengayoman yang kontinyu.
- Teladan yang baik.
- Pandangan yang tajam.
- Kemauan yang kuat.
- Kharisma kepribadian yang fitri.
- Optimisme.

b. Sebab-sebab yang berhubungan dengan individu

Yaitu berjatuhannya anggota disebabkan oleh atau bersumber pada pribadi anggota. Yang termasuk dalam hal ini adalah:

1. Watak yang tidak disiplin, sehingga menyebabkan dia tidak bisa
menyesuaikan diri dengan organisasi / jama'ah.

2. Takut terancamnya diri dan periuk nasinya (QS 4 : 120, QS 3 : 175).
Tersebut dalam hadits:
"Syurga dipagari dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka
dikelilingi oleh segala hal yang menyenangkan". (HR Ahmad, Muslim dan
At-Tirmidzi)

3. Sikap ekstrim dan berlebih-lebihan.
Tersebut dalam hadits:
"Hendaklah kamu menjauhi sikap ekstrim dalam agama. Sesungguhnya orang yang sebelum kamu binasa karena ekstrim dalam beragama". (HR Ahmad dan An-Nasai).

4. Sikap terlalu memudah-mudahkan dan meremehkan.
Tersebut dalam hadits:
"Sesungguhnya kamu melakukan pekerjaan-pekerjaan dosa menurut pandangan mata kamu lebih halus dari rambut. Di masa Rasulullah saw, kami menggolongkan perbuatan itu termasuk al muubiqoot (hal-hal yang
menghancurkan) ". (HR Bukhari).

5. Tertipu kondisi gemar menampilkan diri (QS 28 : 83).

6. Kecemburuan terhadap orang lain / kedengkian. (QS 5 : 27 – 30).

7. Bencana senjata / penggunaan kekuatan.

Syarat-syarat penggunaan kekuatan:
- Habis segala usaha dengan jalan lain.
- Urusannya dipegang oleh pimpinan dan jama'ah Islam dan bukan oleh individu.
- Tidak menjurus pada pengrusakan dan bencana.
- Tidak boleh keluar dari ketentuan syara'.
- Penggunaan kekuatan sesuai skala prioritas.
- Penggunaan senjata harus mempunyai persiapan yang matang dan cermat.
- Hati-hati akan pancingan berbagai reaksi.
- Tidak boleh menjerumuskan ummat Islam bila posisi kekuatan tidak seimbang.

c. Tekanan Luar
1. Tekanan dari suatu cobaan (QS 3 : 175).
2. Tekanan keluarga dan kerabat (QS 9 : 24).
3. Tekanan Lingkungan.
4. Tekanan gerakan agitasi (penyebaran kritik dan keragu-raguan) .
5. Tekanan figuritas (QS 7 : 12).

(Kitab YANG BERJATUHAN DI JALAN DA'WAH, Fathi Yakan)

SEMOGA BERMANFA'AT BAGI KITA SEMUA...
YANG SEDANG MENAPAKI JALAN DAKWAH...

oleh : Rochman (setelah proses editing)

Ketika Amal Jama'i Telah Puda

Amal Jama'i wajib hukumnya bagi Ikhwahfillah kaum muslimin, apa lagi bagi
para aktivis da'wah. Namun kini dakwah bergerak masing2x dan dijalankan
oleh segelintir orang... (PEJUANG SEJATI???). Persis seperti apa yang
pernah dikatakan Asy-Syahid Imam Hasan Al-Banna "Ada yang sibuk dengan beban amanah yang diembannya namun ada juga yang duduk-duduk santai melihat saudaranya yang sedang memikul amanah yang cukup berat"

Kesalahan sebuah Harokah  yang harus di evaluasi "diperbaiki" adalah :
1. Terkadang Qta disibukkan merekrut orang untuk membentuk banyaknya
kerumunan orang bukan membentuk sebuah barisan yang rapih.
2. Terkadang Qta disibukkan merekrut/membentuk kelompok LQ yang baru tapi menafikan dan tidak me-maintenance yang sudah ada sehingga terbengkalai.
3. Terkadamg Qta terjebak hingga ujub (bangga/sombong) dengan kuantitas dengan jumlah yang banyak namun tidak memperhatikan kualitas jundi (kader dakwah)
4. Terlalu sering syuro namun tidak ada implementasi dan realisasi hasil
syuro dyang di terapkan dalam medan dakwah.
5. Kurang Tsiqoh pada diri sendiri, Jundi, Qiyadah dan Manhaj.
6. Dll

Dalam Mabit "mencari sosok pelajar 'Pemimpin' yang ideal" tanggal 10-11
Maret 2007 di Masjid Agung Al-Azhar Ust. Dr. Hidayat Nur Wahid meberikan Keynote Speaker memotivasi kepada para peserta Mabit bahwa Manhaj (Metode) yang selama ini dilakukan Ust. HNW selama menjabat ketua MPR dengan System Qiyadah Jama'yah (Kepepimpinan Bersama) bukan Qiyadah Individual yang Otoriter namun bersifat mengedepankan Musyawarah Mufakat karena hasil keputusan lebih mengakompodir anggota yang lain.

Ust. HNW juga mengajak Qta mengambil Ibroh tatkala suatu ketika seorang sahabat Muazd bin Jabal melaksanakan sholat berjama'ah dan ternyata ketika sholat belangsung terlihat para makmum dibelakangnya mengeluh akan aktualisasi bacaan imam yang telalu panjang tanpa memperhatikan kondisi makmum dibelakangnya sehingga membuat sholat berjama'ah tersebut kurang bejalan dnegan baik. Saat itu sebagian sahabat berfikir Rasulullah Saw akan menegur para makmun kurang taat pada imam yang berada di depan. Namun ternyata sebaliknya justru Rosulullah malah menegur Muadz bin Jabal seraya menasehatinya karena terlalu panjangnya bacaanya tanpa memeperdulikan kondisi makmum dibelakangnya yang mungkin ada yang sudah usia lanjut atau ujur,dsb

Tulisan ini an@ tujukan khusus untuk diri sendiri dan ikhwahFillah umumnya dalam rangka saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan menetapi kebenaran...

"Belajarlah dari atas kekalahan di perang di bukit Uhud serta ingat Perang
Tabuk dan Hunain menanti di depan mata bahkan perang Siffin bukan tidak mungkin terjadi karena sejarah selalu terulang kembali ataupun bukan tidak mungkin akan hadir karakter Abdullah bin 'Saba ketika perang Siffin maupun Mustafa Kamal Attarux ketika keruntuhan Khilafah Islamiyah di Turki 1924"

"Jangan terpesona dengan kemenangan yang sudah diraih...
karena Jalan Dakwah masih panjang...
Jangan pernah pudar walaupun yang lain memudar...
Tetaplah Iqtiqohah saudaraku..."

Wallahu alam bishowwab...

oleh : Rochman (setelah proses editing)

Kriteria Pemimpin Menurut Al Quran

”Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas
di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (QS. Al-Qashash/28 : 5)

Restrukturisasi dan estafet suatu kepemimpinan dalam suatu
negeri merupakan sunnahtullah sebagaimana ketika restrukturisasi pasca
Rasulullah Saw wafat kemudian digantikan oleh Abu Bakar Sidiq. Hal
tersebut sesungguhnya merupakan implementasi pertama kali proses demokrasi karena pada masa Yunani sebelum Rasululah Saw lahir istilah demokrasi (baca: ’demos’ dan ’kratos’) dikenal hanya sekedar wacana tanpa implementasi dan realisasi. Namun Islamlah yang melaksanakan proses demokrasi pertama kali di muka bumi ini setelah wafatnya Rasulullah Saw, masyarakat Jazirah Arab melaksanakan pemilihan pemimpin (khalifah) dan menyampaikan suaranya ke kabilahnya kemudian para pemimpin kabilah tersebut berkumpul melakukan musyawarah (syuro) kemudian memilih (mem-ba’iat) Abu Bakar Sidiq sebagai Khalifah melalui proses pemilihan yang sangat demokratis dan tulus. (Jadi demokrasi itu milik siapa?)

Kepemimpinan (ke-khalifah-an) dalam Islam sangatlah penting melihat posisi itu lebih dari sekedar tugas dan tanggung jawab, melainkan sebagai amanah yang harus diemban sebaik-baiknya. Itu sebabnya, pemimpin (imam) semacam itu harus “dicari” melalui sebuah proses pemilihan umum yang jujur, adil dan demokratis disertai hati yang tulus tanpa usur paksaan apalagi politik uang (money politics). Sehingga kita bisa menemukan pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan DKI Jakarta yang terbaik dalam rangka perbakaikan ummat.

Berkenaan dengan kriteria kepemimpinan itu, alangkah baiknya kita merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber dari segala sumber hukum Ummat Islam. Terdapat beberapa istilah dalam Al-Qur,an yang menunjuk kepada pengertian pemimpin, diantaranya: Khalifah, Imam dan Ra’in. Tiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang padu tak dapat dipisahkan dan seharusnya ada dan tercermin pada seriap diri pemimpin mendatang.

Ke-Khalifah-an : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat. “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi…” (Q.S Al-Baqarah/2: 30). Ayat ini menjelaskan kriteria utama pemimpin adalah kesadarannya akan peran dan fungsinya sebagai khalifah atau wakil Allah. Ini berarti, ketika sang pemimpin bekerja menjalankan amanahnya melayani dan membenahi masyarakat di disertai visi dan misi ke-Illahiyahan (Ketuhanan) dalam bentuk berbagai macam kegiatan dalam rangka membentuk masyarakat muslim yang cerdas dan intelektual.

Dengan demikian, ia akan memiliki legitimasi kepemimpinan yang sangat kuat serta di tambah dengan visi misi yang tajam dan kemampuannya dalam menjelaskan konsep-konsep Islam dan solusi untuk perbaikan di masyarakat yang lebih baik sehingga membuat keunggulan itu semakin mendapatkan pengakuan dari khalayak umum sebagaimana para malaikat memberikan pengakuan kepada Nabi Adam a.s (QS. Al-Baqarah/2: 30-34)

Ke-imam-an : “… dan jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi orang-orang yang bertaqwa” (Q.S Al-Furqon/25: 74). Di sini tersirat bahwa Allah SWT membuka kesempatan seluas-luasnya bagi hamba-Nya untuk menjadi pemimpin dan juga mengisyaratkan predikat taqwa yang disandang dan dimiliki serta rasa tanggung jawab tinggi.  Seorang pemimpin hendaknya lebih meperhatikan fakir miskin yang termarjinalisasi sehingga dapat menciptakan masyarakat yang adil dan makmur disertai nilai-nilai Islam. Kriteria diatas merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin kelak. Adalah sangat mustahil jika seorang pemimpin yang tidak mempunyai visi misi yang tajam dapat memberikan solusi menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi dan budaya hingga dunia pendidikan di negeri ini.

Oleh karena itu, pemimpin yang berperan sebagai Imam, pertama-tama
haruslah menjadi panutan masyarakat yang dipimpin. Sebagaimana Nabi
Ibrahim a.s telah menjadi tauladan dalam hal keta’atan, kehanifan,
ke-tauhid-an dan kemuliaan akhlaknya, mensyukuri nikmat Allah SWT.

“Sungguh, Ibrahim adalah Imam (Pemimpin) yang dapat dijadikan teladan,
patuh kepada Allah SWT dan hanif . Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (mempersekutukan Allah).(Q.S An-Nahl/16: 120)

Peran dan fungsi ke-Imam-an dari seorang pemimpin, secara kongkrit dapat dilihat pada imam sholat. Kriteria Imam sholat ialah lebih berilmu atau lebih fasih bacaannya. Begitu selektifnya, mengingat beratnya tanggung jawabnya seorang imam maka harus yang “tafaqquh fid-din”, yaitu orang yang memahami, mamaknai dan mendalami agama. Sehingga tidak menjadikan posisi Imam sebagai ajang perebutan kekuasaan. Menunjuk  Imam dengan tulus dan ma’mum pun menerima posisi mereka dengan rela hati serta ikhlas.

Dan satu lagi yang menarik, imam tidak sunyi dari koreksi ma’mum bilamana ia lupa atau salah maka bersedia diingatkan. Oleh karena itu jika kita melaksanakan sholat tepat dibelakang posisi imam biasanya didampingi orang yang mempunyai keilmuan yang tinggi pula dibelakangnya agar dapat mengingatkan apabila terjadi kesalahan gerakan dan bacaan. Dan biasanya posisi shaff pertama diisi oleh orang-orang baik yang mempunyai pemahaman Islam karena mereka bertanggung jawab pula untuk mengawal dan mengikuti proses sholat agar berjalan dengan baik. Bahkan ketika imam berada dalam situasi yang menyebabkan wudhunya batal, imam dengan legowo mundur dan digantikan oleh ma’mum yang lain. Ini mengidikasikan bahwa pemimpin harus dekat kepada para ulama dan ustadz disekelilingnya sehingga kelak memiliki integritas, moralitas dan kejujuran yang tinggi.

Ke-Ra’in-an : Ra’in berasal dari kata Ra’a-yara-Ra’yan, yang bermakna
pengembala. Rasulullah SAW dalam sebuah hadist menggunakan kata ini untuk menunjukan fungsi pemimpin.

“Setiap kamu adalah pengembala dan setiap kamu akan diminta pertanggung jawabannya. Seorang pemimpin adalah pengembala bagi rakyatnya, maka ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya”(HR. Ahmad)

Pada fungsi ke-Ra’in-annya, dituntut dari seorang pemimpin kemampuannya untuk membenahi sistem pemerintahan yang lebih baik dan mengarahkan rakyatnya menuju perbaikan Ummat. Ia seorang leader yang berpengalaman dalam memimpin anak buahnya dan memahami prinsip-prinsip leadership karena kelak akan bertanggung jawab terhadap nasib rakyatnya. Ia juga adalah orang yang mengerti betul kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat yang bersifat kekinian dan berorientasi masa depan yang lebih baik serta selalu ber-empati (peduli) terhadap masyarakat tertindas (termarjinal). Untuk itu, ia harus merakyat berada di tengah-tengah rakyatnya sehingga tahu dan mengerti betul apa yang diinginkan rakyatnya.

Wallahu a’lam Bish-showwab...

oleh : Rochman (setelah proses editing)

Etika Diskusi

Diskusi adalah salah satu dari sekian banyak metode dakwah, karena ada
segmen tertentu masyarakat yang hanya mau menyambut seruan dakwah dengan penjelasan yang argumentatif. Bahkan ada juga orang yang hanya akan turut jika sang da’i mampu mematahkan penentangannya melalui perdebatan.

Seorang da’i memiliki berbagai media yang dapat dipergunakan untuk
menyebarkan dakwahnya di tengah masyarakat. Namun, hendaknya ia memahami bahwa media pertama dan utama yang harus didahulukan atas yang lain adalah “diskusi”. Mengapa demikian? Karena kata-kata yang baik dan tulus adalah senjata utama dan sebagai bekal dai dalam mengemban tugas mulia ini, baik ketika menawarkan –untuk pertama kali- dakwahnya kepada orang lain ataupun ketika membela diri dari tuduhan keji. Selain itu, diskusi juga merupakan media pokok untuk melakukan interaksi antar dai, utamanya tatkala ada perbedaan pendapat dalam memahami suatu permasalahan, memahami metodologi, maupun menentukan skala prioritas dakwah.

Terdapat banyak variabel yang menunjang keberhasilan suatu proses diskusi, meliputi situasi psikologis, momentum, suasana ruangan, kejelasan vokal pelaku diskusi, validitas argumentasi, dan yang mutlak harus ada pada diri sang da’i adalah akhlak yang mulia. Jadi, ada aspek moral yang harus diindahkan dan ada faktor skill yang harus dikuasai.

Dengan begitu, setelah orang tahu rambu-rambu yang boleh dan yang tidak boleh dalam diskusi, selebihnya aktivitas ini merupakan seni dalam
berkomunikasi. Apalagi jika diingat bahwa yang terlibat di dalamnya adalah
manusia yang sangat “tidak mekanis”. Yang dibutuhkan bukan sekedar
sampainya pesan ke telinga audiens, tetapi bagaimana pesan itu sampai,
dimengerti, dan diterima secara sadar. Dua aspek inilah (moral dan skill)
yang perlu kita bahas.

Antara Diskusi dan Debat
Diskusi dan debat bertemu pada satu hal, bahwa keduanya sama-sama
pembicaraan antara dua pihak. Akan tetapi, keduanya berbeda setelah itu.

Biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan, meski hanya sebatas
perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapat masing-masing pihak dengan merendahkan pendapat pihak lain.

Diskusi merupakan upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh kedua belah
pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya
permusuhan di antara keduanya.

Dalam Al Quran kita dapati beberapa keterangan yang menunjukkan perbedaan antara debat dengan diskusi ini. Al Quran menggunakan kata jidal (debat) untuk hal-hal yang tidak diridhai atau tidak membawa manfaat. Seperrti di Surat Al Mu’min ayat 5 dan Al Hajj ayat 8. Kata jidal dalam Al Quran terdapat di 29 tempat. Hampir kesemuanya dalam konteks pembicaraan yang tidak menghendaki munculnya debat dan tidak bermanfaatnya sebuah perdebatan.

Adapun kata hiwar (diskusi), terdapat dalam Al Quran hanya pada tiga
tempat. Sebenarnya kata-kata yang semakna dengan hiwar itu, tersebut dalam Al Quran dibanyak tempat. Hanya saja tidak menggunakan kosakata hiwar itu sendiri, akan tetapi menggunakan kosakata “berkata” (qala). Ini disebutkan dalam Al Quran sebanyak 527 kali.

Al Quran dan Diskusi
Al Quran, melalui ayat-ayatnya, menaruh perhatian besar pada gaya
percakapan dan diskusi. Ini sama sekali tidak mengherankan, karena diskusi merupakan cara terbaik untuk meyakinkan dan memberikaan kepuasan kepada hati objek dakwah.

Al Quran menyuguhkan kepada kita beberapa contoh diskusi. Ada percakapan Allah Swt dengan para malaikat tentang pencipataan Adam a.s (Al Baqarah: 30-32); antara Allah Swt dengan Ibrahim a.s tatkala ia memohon kepada-Nya agar memperlihtkan bagaimana Dia menghidupkan orang mati (Al Baqarah : 260); antara Allah Swt dengan Musa a.s, tatkala Musa memohon kepada-Nya agar diizinkan untuk memandang wajah-Nya (Al A’raf: 143); kisah Isa a.s tatkala ditanya Allah Swt, apakah ia menyuruh kaumnya untuk menjadikan diri dan ibunya sebagai dua Tuhan selain Allah Swt ( Al Maidah : 116); diskusi dalam kisah pemilik dua kebun (Al Kahfi : 18); diskusi dalam kisah Ibrahim a.s tatkala hendak menyembelih anaknya (Ash-Shafat: 102); kisah Qarun dengan kaumnya (Al-Qashash: 76); kisah daud a.s dengan dua orang yang sedang bertikai (Shad: 21); kisah Nuh a.s bersama kaumnya (Al A’raf: 143); kisah Syu’aib bersama kaumnya (Hud: 84), dan contoh-contoh lain yang dapat kita jumpai dalam Al Quran, semuanya menunjukkan bagaimana
pentingnya diskusi.

ETIKA DISKUSI

1. Niat
Hendaknya seorang dai menahan diri untuk tidak berdiskusi, jika ia tidak
yakin bahwa motivasinya karena Allah Swt semata. Hendaklah ia tidak
mempunyai maksud untuk menunjukkan kepandaian dan keluasan wawasannya dalam setiap perbincangan; atau mengangkat dirinya atas orang lain dengan meremehkan lawan bicara; atau membanggakan diri untuk mendapatkan sanjungan. Semua itu dapat menghapus pahala amalnya di sisi Allah Swt dan merusak citranya di mata masyarakat.

Diriwayatkan bahwa ada seorang anak yang bertanya kepada bapaknya, “Ayah, ananda melihat ayah melarang kami berdebat, padahal dahulu ayah pendebat ulung.” Sang bapak menjawab, “Wahai anakku, dahulu kami berdebat dengan perasaan was-was yang amat sangat kalau-kalau kami mengalahkan lawan bicara. Sedangkan kini, kalian berdebat dengan rasa cemas jangan-jangan tergelincir lantas dikalahkan oleh lawan bicara. “

Perlu ditegaskan bahwa pelaku diskusi harus berhenti, jika ia mendapati
bahwa dirinya telah berubah dari tujuan semula; telah masuk ke dalam
suasana permusuhan dan pertentangan. Sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya larangan yang pertama ditujukan kepadaku setelah penyembahan berhala adalah perdebatan (yang dibarengi dengan permusuhan)).. Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya saya berikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, padahal sesungguhnya ia adalah pihak yang benar. Juga sebuah rumah di sekitarnya bagi orang yang meninggalkan perdebatan, sementara ia berada di pihak yang salah.”

2. Situasi yang Kondusif
Seorang pelaku diskusi hendaklah melihat situasi sebelum berdiskusi;
apakah cocok untuk melakukan diskusi atau tidak. Situasi yang melingkupi
kita menyangkut tiga macam, yaitu tempat, waktu, dan manusianya. Ungkapan klasik menyatakan, “Tidak setiap yang diketahui itu harus diucapkan. Setiap posisi sosial memiliki kata-katanya sendiri.”

3. Ilmu
Janganlah memperbincangkan suatu tema yang engkau sendiri tidak mengerti dengan baik dan janganlah engkau membela suatu pemikiran manakala kamu tidak yakin dengan pemikiran tersebut. Bashirah (pengetahuan yang dalam) yang diisyaratkan dalam Al Quran berfungsi sebagai perlindungan bagi dai untuk tidak berbicara tanpa ilmu dan menahan dirinya dari usaha membantah argumentasi orang lain tanpa ia sendiri mempelajari tema pembicaraan.
Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu mencari ilmu untuk berbangga jadi ulama, merendahkan orang-orang bodoh, dan agar orang lain berpaling kepadamu. Barangsiapa melakukan untuk itu, ia di neraka” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

4. Manusia itu Beragam
Kemampuan otak manusia, tingkat pemahaman, dan keluasan wawasannya, sangat berbeda-beda. Argumentasi yang bisa dipahami oleh Zaid, belum tentu dapat dipahami oleh Amar. Pembicara yang baik adalah pembicara yang memahami dengan siapa ia berbicara, lalu ia dapat menentukan metode yang dianggap sesuai untuknya.

Salah satu cara untuk mengetahui tingkatan lawan bicara adalah dengan
melontarkan pertanyaan netral kepadanya yang mengesankan adanya kesamaan pemikiran antara Anda, pembicara, dengannya. Dengan begitu, Anda dapat mengukur kedalaman pengetahuannya tanpa menyinggung perasaannya.

5. Jangan Mendominasi Pembicaraan
Pelaku diskusi atau pembicara secaara umum, tidak boleh mendominasi
pembicaraan; yakni tidak memberikan kepada pihak lain peluang berbicara.
Tetapi cegahlah ia berbicara yang bertele-tele, sehingga keluar dari
konteksnya. Mendominasi pembicaraan sama halnya dengan serakah dalam urusan makan. Semua itu merupakan sikap tercela.

6. Mendengarkan dengan Baik
Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik, karenanya jadilah
pendengar yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain. Sebaliknya, perhatikan ia sebagaimana engkau sendiri juga senang jika orang lain memperhatikanmu. Ketahuilah bahwa kebanyakan orang –sebenarnya lebih menghormati pendengar yang baik daripada pembicara yang baik.

Kadang-kadang ada situasi tatkala engkau mendengarkan suatu pembicaraan, engkau melihat ada beberapa hal yang harus dievaluasi, dikomentari, diluruskan, atau diperjelas dari pembicaraan itu. Tentu saja sangat bermanfaat jika di tanganmu tersedia alat tulis dan kertas untuk membuat catatan. Jika giliranmu untuk berbicara tiba, engkau dapat menyampaikan catatanmu itu tanpa ada yang terlewatkaan. Sikap seperti ini jauh lebih utama daripada jika engkau memutuskan benang pikiran orang lain yang tengah diurai, yang akhirnya hanya merugikan dirimu sendiri.

7. Perhatikan Diri Sendiri
Ketika engkau tengah berbicara, perhatikanlah dirimu sendiri; apakah
engkau berbicara terlalu keras? Ingatlah nasihat Lukman kepada puteranya, “Dan sederhanakanlah engkau dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”.

Perhatikanlah dirimu: apakah engkau merasa lebih berilmu? Apakah ‘perasaan lebih’ itu tampak pada raut muka, tutur kata, atau gerakan tanganmu? Jika engkau merasakannya, ubahlah segera caramu itu. Jika merasa ada yang salah, segeralah minta maaf. Janganlah engkau mengikuti emosimu, sehingga engkau mengubah diri dari seorang kawan diskusi menjadi seorang penceramah. Karena bisa saja dari mulut seseorang keluar kata-kata kasar, ungkapan pedas, kalimat yang mengesankan dirinya seorang guru, pemberi petuah, sok merasa besar, dan semisalnya yang dapat melahirkan dampak negatif bagi diskusi yang dilakukannya.

8. Kejelasan
Tegasnya ungkapan, fasihnya lisan, dan bagusnya penjelasan adalah sebagian dari pilar-pilar ...

Oleh : Rochman (setelah proses editing)

Jika Komitmen Kita Benar-Benar Tulus...

"Dan antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah ; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-menunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya." [Al-Ahzab 33:23]

1. Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus..., maka tidak akan
banyak aktivis dakwah yang berguguran di tengah jalan. Dakwah akan terus melaju dengan mulus untuk meraih tujuan-tujuannya dan mampu memancangkan prinsip-prinsipnya dengan kokoh.

2. Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus..., niscaya hati sekian banyak orang akan menjadi bersih, pikiran mereka akan bersatu, dan fenomena ingin menang sendiri saat berbeda pendapat, akan jarang terjadi.

3. Jika komitmen aktivis dakwah benar-benar tulus..., maka sikap toleran akan semarak, rasa saling mencintai akan merebak, hubungan persaudaraan semakin kuat, dan barisan para aktivis dakwah akan menjadi bangunan yang berdiri kokoh dan saling menopang.

4. Jika komitmen aktivis dakwah dakwah benar-benar tulus..., maka dia
tidak akan peduli saat ditempatkan di barisan depan atau di barisan
belakang. Komitmennya tidak akan berubah ketika ia diangkat menjadi
pemimpin yang berwenang mengeluarkan keputusan dan ditaati atau hanya sebagai jundi yang tidak dikenal atau dihormati.

> 5. Jika komitmennya benar-benar tulus..., maka hati seorang aktivis dakwah
> akan tetap lapang untuk memaafkan setiap kesalahan saudara-saudara
> seperjuangannya, sehingga tidak tersisa tempat sekecil apa pun untuk
> permusuhan dan dendam.

6. Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus..., maka sikap toleran dan saling memaafkan akan terus berkembang, sehingga tidak ada momentum yang menyulut kebencian, menaruh dendam, dan amarah. Namun sebaliknya, semboyan yang diusung adalah "Saya sadar bahwa saya sering melakukan kesalahan, dan saya yakin Anda akan selalu memaafkan saya."

7. Jika komitmen aktivis dakwah benar-benar tulus..., maka semua orang
akan sangat menghargai waktu. Bagi setiap aktivis dakwah, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia karena dia akan selalu menggunakannya untuk beribadah kepada Allah di sudut mihrab, atau berjuang melaksanakan dakwah dengan menyeru kepada kebaikan yang mencegah kemungkaran. Atau, menjadi murabbi yang gigih mendidik dan mengajari anak serta isterinya di rumah. Aktivis dakwah yang aktif di masjid untuk menyampaikan nasihat dan membimbing masyarakat.

8. Jika komitmennya benar-benar tulus..., maka setiap aktivis dakwah akan segera menunaikan kewajiban keuangannya untuk dakwah tanpa merasa ragu atau bimbang. Di dalam benaknya, tidak ada lagi arti keuntungan pribadi dan menang sendiri.

9. Jika komitmen aktivis dakwah benar-benar tulus..., maka akan muncul
fenomena pengorbanan yang nyata. Tidak ada kata "ya" untuk dorongan nafsu atau segala sesuatu yang seiring dengan nafsu untuk berbuat maksiat. Kata yang ada adalah kata "ya untuk segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah.

10. Jika komitmen para aktivis dakwah benar-benar tulus..., maka setiap
orang yang kurang teguh komitmennya akan menangis, sementara yang
bersungguh-sungguh ingin berbuat lebih banyak dan berharap mendapat
balasan serta pahala dari Allah.

Oleh : Rochman (setelah proses editing)

Jumat, 04 Januari 2008

Kisah & Hikmah Ketika Rasulullah Menjadi Mata-Mata

Menjelang peristiwa perang Badar, Rasulullah dan pasukan melakukan
perjalanan menuju Badar. Setelah melalui beberapa bukit, maka tibalah
mereka di Badar. Dari sana beliau melakukan kegiatan mata-mata bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasulullah yang dengan setia menemaninya ketika peristiwa hijrah. Tatkala mereka berputar-putar di sekitar pasukan musyrikin Quraisy, tiba-tiba mereka berpas-pasan dengan seorang Arab yang sudah tua. Pada saat pertemuan yang tidak sengaja itu, beliau melakukan penyamaran agar tidak ketahuan sebagai bagian dari pasukan Muslimin dari Madinah.

Rasulullah bertanya kepada orang tua itu tentang pasukan Quraisy dan
Muhammad. Beliau menanyakan kedua pasukan itu agar tidak ketahuan
penyamarannya.

"Aku tidak akan memberitahu kepada kalian sebelum kalian memberitahu
kepadaku, dari mana asal kalian berdua," kata orang tua itu.

"Beritahukan kepada kami, nanti akan kami beritahukan kepadamu dari mana asal kami," Rasulullah menanggapinya.

"Jadi begitukah?" tanya orang tua itu.

"Benar," jawab Rasulullah.

"Menurut informasi yang kudengar, Muhammad dan rekan-rekannya berangkat pada hari ini dan ini. Jika informasi itu benar, berarti pada hari ini dia sudah tiba di tempat ini (tepat di tempat pemberhentian pasukan Muslimin). Menurut informasi yang kudengar, Quraisy berangkat pada hari ini dan ini. Jika informasi ini benar, berarti mereka sudah tiba di tempat ini (tepat di tempat pemberhentian pasukan musyrikin Quraisy)." Setelah panjang lebar menjelaskan, orang tua itu bertanya, "Lalu dari mana asal kalian berdua?"

Rasulullah menjawab, "Kami berasal dari setetes air."

Setelah itu Rasulullah dan Abu Bakar beranjak pergi meninggalkan orang tua itu melongo' keheranan, "Dari setetes air yang mana? Ataukah dari setetes air di Irak?"

oleh : Rochman (setelah proses editing)

Hakikat Musyawarah

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Allah dan

mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..."
(QS. Asy-Syuro/42 : 38)

Musyawarah adalah salah satu mekanisme pengambilan keputusan yang diadopsi dari ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT melalui surat Asy-Syuro artinya Musyawarah yang mengajarkan kepada kita bagaimana etika dan mekanisme bermusyawarah untuk meraih mufakat sehingga dapat dipertanggung jawabkan di dunia kepada khalayak luas dan kelak diakhirat kepada Allah SWT. Keputusan musyawarah adalah hasil kesepakatan bersama bukan keputusan sepihak apalagi keputusan subyektif pimpinan namun hendaklah keputusan hasil kesepakatan bersama. Dalam organisasi, seorang pemimpin sebaiknya melibatkan civitas anggotanya dalam mengambil sebuah keputusan karena yang demikian itu akan lebih membawa maslahat dan tanggung jawab bagi semua anggota, sehingga dalam menjalankan program kerja nanti, ada rasa memiliki. Musyawarah adalah mekanisme pengambilan keputusan yang sangat ideal untuk diterapkan di setiap masa.

Implementasi mekanisme musyawarah dapat kita teladani secara konkrit melaalui literatur sirah nabawiyah dan sahabiyah yaitu pasca wafatnya Rasulullah Saw. Ketika para kabilah melakukan musyawarah dalam menentukan kepemimpinan waktu itu. Dalam hal kepemimpinan para sahabat sangatlah berhati-hati dan selektif seperti Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, Ali bin Abu Thalib, dll mereka semua adalah Generasi Pertama (Ashabiqqunal Awwalun) yang berkumpul melakukan musyawarah pada waktu itu guna memilih pemimpin (khalifah) yang layak menggantikan kepemimpinan Rasulullah Saw. Bermusyawarahlah mereka dengan jujur, adil, arif dan bijaksana. Hingga akhirnya mereka dengan sepakat memilih dan membai’at Abu Bakar Siddiq sebagai Khalifah pada waktu itu menggantikan kepemimpinan Rasulullah Saw dengan keputusan yang adil dan rasa ikhlas di hati ummat Islam pada waktu itu.

Para aktivis Islam adalah Tentara Allah (Jundullah) yang sedang melakukan musyawarah, hendaklah meneladani kisah para sahabat di atas, karena kepemimpinan janganlah melihat sebuah jabatan yang melainkan amanah yang harus diemban sesuai batas waktu yang Allah SWT telah tentukan. Seorang pemimpin juga tidak melalaikan amanah yang telah diberikan karena sebagai ummat terbaik hendaklah senantiasa bertugas menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar serta mengajak beriman kepada Allah (QS. Ali ’Imran/3: 110). Jika melalaikannya, akan mendapat murka Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Salah satu output dari musyawarah yang dilakukan dalam organisasi Islam
adalah mencetak pemimpin Islam. Bila untuk mewujudkan yang wajib
membutuhkan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Salah satu
permasalahan ummat saat ini adalah krisis kepemimpinan, maka setiap orang dalam organisasi Islam hendaknya diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin namun harus profesional sesuai dengan kemampuan (kafa’ah) dan syarat sesuai aturan yang ditentukan organisasi. Sehingga jenjang kaderisasi dalam rangka estafef kepemimpinan dapat berjalan secara alami dan adil.

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
(QS. Al-Ahzab/33 : 72)

Pemimpin adalah cerminan dari sebuah organisasi karena yang pertama kali dilihat oleh khalayak luas adalah pemimpinnya. Maka berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin dan sesuaikan dengan tahapan da'wah yang sedang ditempuh. Pemimpin yang bisa diterima tidak hanya di kalangan internal anggota, tetapi juga di luar anggota. Oleh karena itulah karakteristik sekunder seorang pemimpin disesuaikan dengan era dan medan da’wah (marhalah).

Seorang pemimpin haruslah memiliki muwashofat primer dan sekunder yang sesuai medan dakwahnya (marhalahnya). Seorang pemimpin hendaknya memiliki Iman yang kuat dan fundamen aqidah yang kokoh sebagai cerminan nilai-nilai Religius yang tinggi. Seorang pemimpin juga harus mempunyai karakter Organisatoris yang handal dengan mempunyai pengalaman dan keterampilan (skill) berorganisasi. Seorang pemimpin juga haruslah orang yang Cerdas sehingga mampu menyelesaikan permasalahan dengan efektif. Seorang pemimpin harus berjiwa Humanis dengan suka membaur dengan anggotanya dan merakyat sehingga dicintai anggotanya. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan Manajerial yang tinggi dan rapih sehingga mampu menerapkan konsep manajemen SDM untuk membangun kesolidan kerja dalam team (ber-amal jama’i) bahkan "menajemen konflik" hingga "win win solution". Seorang pemimpin juga harus seorang yang Aktif karena kehadirannya dalam setiap acara dan kegiatan tidak hanya sekedar memberikan kata sambutan acara namun dapat memberikan spirit dan motivasi anggota, kehadirannya tetaplah sangat diharapkan karena dapat memberikan nilai-nilai keteladanan terhadap anggotanya. Seorang pemimpin juga hendaknya memiliki jiwa Negosiatoris dengan kemampuannya dalam bernegosiasi dan mengutamakan musyawarah bersama untuk mencapai mufakat adalah syarat mutlak demi kelangsungan dan kemajuan
sebuah organisasi.

Organisasi Islam yang akan berganti kepengurusan hendaknya menggelar musyawarah untuk memilih pemimpin (Qiyadah) yang baru. Memilih pemimpin bukanlah lantaran pilih kasih karena faktor kedekatannya apalagi karena hubungan famili, tetapi karena atas dasar kemampuan dan pengalamannya, karena penulis pernah mendengar sebuah hadits mengatakan bahwa Barangsiapa memberikan amanah (kepemimpinan) kepada seseorang lantaran pilih kasih, padahal ada orang lain yang lebih mampu, maka sesungguhnya ia telah menghiananti Allah Subanallahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya

Mari kita kuatkan tekad (azzam) bahwa kita ada dalam organisasi pemuda Islam bulan desember mendatang akan melaksanakan Musyawarah Lengkap (Musleng) karena Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk bersatu dalam kebaikan dan berjuang di jalan-Nya. Hal penting yang perlu diingat bahwa seorang pemimpin bukanlah manusia yang paling kuat dan hebat di antara anggotanya, tetapi seorang pemimpin itu dapat menjadi kuat dan hebat dikarenakan dukungan dan kepercayaan dari para anggotanya dan diperkuat oleh para stakeholdernya.

Wallahu a’lam Bish-showwab...

Oleh : Rochman (setelah proses editing)