Minggu, 30 Desember 2007

Ushairam & Georgerus Theodorus

11. Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
12. Ia menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh
13. Ia menyeru sesuatu yang sebenarnya mudharatnya lebih dekat dari manfaatnya. Sesungguhnya yang diserunya itu adalah sejahat-jahat kawan.

Rangkaian surat Al-Hajj ayat 11-12 di atas telah memberikan informasi pada kita, bahwa ada golongan manusia yang diumpamakan Allah "berada di tepi". Dalam fi Dzilali Qur’an Sayid Qutb menjelaskan bahwa maksud dari "berada di tepi" yaitu mereka yang imannya tidak sepenuh hati. Mereka beriman namun tidak mau terlibat lebih jauh dalam nilai-nilai (perjuangan) Islam.

Maka jangan heran bila ada muslim yang ogah-ogahan jika diajak aktif mengurusi ummat. Alasan atau dalih yang biasa dipakai adalah:
"Wah ilmu kami belum cukup"
"Afwan, saya masih tahap belajar"
"Maaf saya khawatir mental saya belum kuat.."
"Saya masih bingung mana yang benar.."
dllllllllll.......

Padahal telah tercata dalam sejarah para pahlawan Islam seperti:

-Ushairam & Jirji Tudur (Geogerus Theodorus)
Dimalam hari mereka masih kafir, namun keesokan harinya mereka berjuang bersama ummat Islam dan menemui syahidnya.. Bahkan Ushairam dipastikan belum pernah melakukan shalat. Namun Nabi menginformasikan bahwa mereka masuk syurga..

Di kisah lainnya... Abu Thalhah yang sudah Tua renta tidak rela jatahnya dalam quota jihad yang ditentukan rasulullah digantikan oleh anaknya. Beliau ngotot ingin berangkat, padahal sang anak merayunya agar dialah yang menggantikan posisi ayahnya.

Adalagi kisah Abdullah bin Ummi Maktum yang buta, beliau memohon pada Rasulullah agar bisa turut serta dalam peperangan. Rasulullah SAW memngabulkannnya dan memberikan tugas pada beliau untuk membawa panji Islam. Ketika perang berlangsung, sahabat buta nan mulia ini memeprtahankan panji Islam hingga syahid menjemputnya..

Subhanallah... bagaimana dengan kita..???

Saat ini kita hanya diminta terlibat dalam dakwah yang penuh dengan keringanan-keringanan tanpa perlu bersimbah darah. Kita hanya meneteskan keringat, belum diminta mencucurkan darah..

Tidak sedikit dari kita yang menghindar dari jihad dengan berjuta alasan..

Ummat Islam adalah ummat yang kehidupannya dipenuhi dengan perjuangan. Sejarah membuktikan berabad-abad, bahwa pertempuran antara haq & bathil selalu berlangsung tanpa pernah istirahat. Perjuangan seakan menjadi bagian dari pola hidup muslim sejati. Berleha-leha adalah bagian hidup dari mereka yang hanya mengharapkan Islam sebagai status, kemudian beragama menurut hawa nafsunya.

Istirahat kita adalah di tempat yang abadi dengan kenikmatan tertinggi. Bukan disini, di dunia yang hanya tempat persinggahan.

Ibnu Katsir menegaskan bahwa Islam adalah Manhaj Haraki, Islam hanya dapat dipahami oleh mereka yang melakukan harokah.

Maka merugilah mereka yang hanya berada di "tepi" karena mereka ingin menikmati istirahat sebelum waktunya.

Wallahu A’lam bishowab



Oleh : Qudrat SQ (setelah proses editing)

SEMANGAT

Semangat

Semangat bukanlah hanya sekedar kata-kata ’semangat’ saja, yang diucapkan dengan begitu keras dari mulut. Terlalu sempit juga rasanya memaknai semangat dengan keaktifan dan gerak saja. Apalagi mendefinisikannya hanya sebatas kekuatan bekerja dalam waktu yang panjang, sangat sulit untuk bisa dipahami. Sesungguhnya yang dikatakan semangat lebih dari itu semua, lebih dari sekedar kata-kata yang membakar, gerak yang merubah dan energi yang tak kunjung habis.

Kalaulah semangat hanya diartikan sedemikian, maka bahasa apa yang patut kita sematkan di diri Almarhum Syeikh Ahmad Yassin, lelaki tua itu tiadalah memiliki fisik yang kuat, ia duduk di kursi roda, tiada banyak gerak yang dilakukan, begitu lemah. Maka apakah karena kondisi yang seperti itu, ia disebut tidak bersemangat? Salah, ia sangat bersemangat, semangat yang tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga mampu terpancar bagi mereka yang berada di sekitarnya.

Karena semangat sesungguhnya adalah pancaran energi ruhiyah, ia berasal dari kumpulan kekuatan yang diperoleh dari penjagaan amal yaumi, dari shalat-shalat malam yang dilakukan, dari ibadah shaum, dhuha, tilawah quran dan ibadah-ibadah lain. Semangat tidak hadir dari tempaan fisik dan kekuatan tangan, salah jika memandangnya dari sudut sana, ia lahir dari jiwa-jiwa yang selalu terpaut ke surga sedang raga berpijak di bumi.

Itulah sejatinya semangat, karakter para perindu surga, orang-orang yang selalu bersegera untuk tunaikan seluruh amanah yang di pikulkan di pundaknya. satu energi yang terhimpun dari kuatnya ruhiyah.

Karena ia bersumber dari energi ruhiyah, tak bisa ia dipisahkan dengan keikhlasan. Hanya orang-orang dengan ruhiyah mantap dan keikhlasan yang tinggilah yang bisa untuk terus semangat. Orang yang ikhlas, dalam kondisi bagaimanapun, ia akan tetap semangat. Tak peduli baginya dilihat ataupun tidak, apa yang harus ia lakukan dilakukannya dengan sebaik mungkin. Tiada aktivitas yang dilakukan untuk sebuah popularitas, ketenaran dan pengharapan atas pujian manusia. Apalagi untuk sekedar menarik simpati lawan jenis, ikhwan atau akhawat.

Maka tidak akan ada kekecewaan dalam diri orang-orang yang bersemangat,karena ia tahu kemana harus patrikan tujuan dari seluruh aktivitasnya. Bukan kepada sesiapa, tapi semua terpatri untuk Allah saja, seluruh orientasi aktivitas dan hidupnya berpusar pada satu
orbit; Allah.

Maka di titik ujung perjuangan (walau belum sepenuhnya ujung) ini, mari takar semangat dan keikhlasan kita. Sudah seberapa besarkah ia berada di dalam diri, sedikitkah, sudah ada atau sama sekali tidak ada. Mari tingkatkan amal yaumi untuk menjadi lebih bersemangat menunaikan seluruh amanah, jaga keikhlasan agar selalu semangat.

Sehingga lingkaran semangat inipun terpancar juga ke saudara-saudara yang lain, hingga pusaran kebaikan tidak hanya berputar di dalam lingkaran yang kecil, tetapi beredar dalam lingkaran besar dan dapat dirasakan semua.


Bersahabat

Bersahabat adalah kemampuan untuk lebih banyak memberi tanpa pernah berfikir, apa dan kapan akan menerima imbalan yang lebih besar. Bersahabat intinya adalah keinginan agar sahabatnya bisa menjadi lebih baik, bahkan lebih baik dari dirinya sendiri. Dalam berda’wah ataupun dalam hidup sekalipun, kita harus mampu untuk menjadi sahabat bagi siapapun, menjadikan semuanya begitu dekat dan hati tiada mencipta jarak.

Sejatinya memang haruslah demikian. Namun faktanya berbeda, ketika ia harus berbenturan dengan ideologi yang memang bertentangan nilai-nilai asasi dalam aqidah, maka rasanya sulit sebuah persahabatan akan dibangun. Karena memang haq dan batil tidak bisa disatukan, dan akan selamanya menjadi pertarungan abadi sampai akhir zaman. Pertanyaannya adalah bagaimana kita harus membangun persahabatan yang ternyata jelas-jelas dengan orang yang konon menjadikan akal sebagai dalilnya, yang hatinya telah keras terhadap sentuhan al-qur’an, apalagi yang mejadikan aktivis muslim sebagai musuh bersamanya. Dan ini yang memang sulit... Dan ini pula, Da’walah yang harus menjadi panglima kita, meyadarkan mereka untuk kembali kepada Addin yang hanif.

Jangankan dengan mereka yang telah bersebarangan dengan kita, kadangkala membangun persahabatan dalam satu jamaahpun kita seringkali mengalami kendala. Dimulai dari prasangka sampai pada tingkat ketidaktsiqohan terhadap jamaah. Memang, ini banyak faktor yang mempengaruhinya, baik dari watak dari masing-masing pribadi, maupun kepemahaman mereka terhadap da’wah ini. Apa itu jamaah? apa itu

keputusan syuro?, apa itu ta’limat? dllnya. Usia tarbiyah tidak berbanding lurus dengan kepemahaman terhadap da’wah ini (memang ini bukanlah sebuah jaminan)

Lalu bagaimana membangun persahabatan dengan mereka semua?, baik yang berseberangan dengan kita maupun sesama sahabat dalam satu jamaah?.....

Dimulai dari berlapang dada hingga sikap endahulukan saudara, disanalah ukhuwah yang indah tertata, maka kita ingin indahnya ukhuwah dan islam dapat dirasakan oleh seluruh saudara kita. Bersahabat artinya memberi lebih banyak dan bukan tuntutan untuk meminta.
Rasulullah SAW akan selalu menjadi contoh, bagaimana ia mampu bersahabat, menjadi sahabat terbaik bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Yang selalu mengharapkan kebaikan bagi saudara-saudaranya.

Maka semua persoalan kembali terpulang kepada kita, jika sudah tahu tentang arti semua kata dan hikmah yang tersembunyi di baliknya, alasan apakah lagi yang menghalangi untuk melaksanakannya. Sudahkah kita cukup bersahabat hingga sampai di titik ini ?

Titik bukanlah selalu akhir,tergantung dari sudut mana kita memandang. Ia adalah pertanda dan awal dari di mulainya kalimat baru. Begitu juga dengan titik ujung sesungguhnya ia juga bukanlah akhir. Tetapi sekedar jenak istirahat untuk melanjutkan perjalanan dan tugas baru yang lebih berat.

Untuk sampai di titik ujung ini, tentu telah cukup banyak hitung waktu yang terlewati. Waktu-waktu yang sudah digunakan sebagai sebuah proses pembelajaran. Maka kedepan yang mesti dilakukan, lakukanlah. Lakukan dengan seluruh bisamu, sekuat dayamu, sepenuh semangatmu dan sehangat rasa bersahabatmu. Agar ada perbaikan ditiap titik berikutnya yang akan dilewati..

Lanjutkan perjalanan menuju titik berikutnya dengan SEMANGAT dan BERSAHABAT.



oleh : Anas (setelah proses editing)